Oleh : Fenfen Fenda Florena
Dalam kitab Ad-Daulah al-Islamiyah karangan as-Syaikh Abu Ibrahim Taqiyuddin Muhammad bin Ibrahim bin Mushthofa bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad bin Nashiruddin an-Nabhani atau yang akrab dipanggil dengan nama as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kita mendapati penjelasan yang begitu terang, jelas dan menakjubkan tentang metode perjuangan yang ditempuh Rasulullah saw dalam meraih kepemimpinan ditinjau dari sisi politis, sisi yang terkadang kerap tidak disoroti oleh kebanyakan umat islam saat ini.
Dalam muqodimah kitab tersebut, seorang ulama polymath (seorang mujtahid mutlak, expertis dalam bidang ushl fiqh, pemikir politik Islam, peletak dasar ilmu ekonomi Islam, penyusun konstitusi Islam) yang telah hafizh Qur'an sebelum usianya 13 tahun ini pun mewanti-wanti kita untuk sabar membimbing dan mengarahkan umat dalam memperkenalkan Islam, karena disadari atau tidak, umat islam sendiri telah banyak kehilangan memori tentang Islam dan memiliki persepsi/gambaran yang tidak utuh terhadap islam dan bentuk pemerintahan islam itu sendiri.
Umat saat ini hanya dapat menyaksikan sisa-sisa islam dengan fosil-fosil Pemerintahan Islam yang sudah dimuseumkan dengan rapi. Betapa sulit sekali bagi umat untuk memperoleh gambaran tentang Islam dan Pemerintahan Islam yang mendekati fakta sebenarnya, hal ini merupakan kondisi yang sangat wajar akibat persepsi umat telah dibangun secara tersistematis oleh standar sistem demokrasi terhadap Islam yang penuh dengan pengebirian dan pengkerdilan terhadap wujud Islam itu sendiri, apalagi diperparah dengan melemahnya kekuatan berpikir umat yang disertai dengan serangan bertubi-tubi tsaqofah Barat yang rusak dan merusakan.
Sahabat seperdjoeangan, mari kita bersama-sama menyimak sebuah kisah yang sejak berabad-abad lalu menjadi nasihat para Sufi kepada murid-murdinya, sebuah kisah yang menggambarkan kepada kita betapa pentingnya umat memahami Islam secara menyeluruh dan utuh, enggak setengah-setengah. selamat menikmati..
**** ****
Kisah Bijak Para Sufi: Orang-Orang Buta dan Gajah
Alkisah, di seberang Negeri Ghor ada sebuah kota. Semua penduduknya buta. Seorang raja beserta rombongannya lewat dekat kota itu; ia membawa pasukan dan berkemah di gurun. Raja itu mempunyai seekor gajah perkasa, yang digunakannya untuk berperang dan membuat rakyat kagum.
Penduduk kota itu sangat antusias ingin melihat gajah tersebut, dan beberapa dari mereka yang buta pun berlari untuk mendekatinya.
Karena sama sekali tak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka hanya bisa meraba-raba, mencari kejelasan dengan menyentuh bagian tubuhnya. Masing-masing hanya menyentuh satu bagian, tetapi berpikir telah mengetahui sesuatu.
Orang buta pertama mendekati gajah. Ia tersandung dan ketika terjatuh, ia menabrak sisi tubuh gajah yang kokoh. “Oh, sekarang aku tahu!” katanya, “Gajah itu seperti tembok.”
Orang buta kedua meraba gading gajah. “Mari kita lihat...,” katanya, “Gajah ini bulat, licin dan tajam. Jelaslah gajah lebih mirip sebuah tombak.”
Yang ketiga kebetulan memegang belalai gajah yang bergerak menggeliat-geliat. “Kalian salah!” jeritnya, “Gajah ini seperti ular!”
Berikutnya, orang buta keempat melompat penuh semangat dan jatuh menimpa lutut gajah. “Ah!” katanya, “Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini mirip sebatang pohon.”
Yang kelima memegang telinga gajah. “Kipas!” teriaknya, “Bahkan orang yang paling buta pun tahu, gajah itu mirip kipas.”
Orang buta keenam, segera mendekati sang gajah, ia menggapai dan memegang ekor gajah yang berayun-ayun. “Aku tahu, kalian semua salah.” Katanya. Gajah mirip dengan tali.”
Sekembalinya ke kota, orang-orang yang hendak tahu segera mengerubungi mereka. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka mencari tahu tentang kebenaran kepada sumber yang sebenamya telah tersesat.
Mereka bertanya tentang bentuk dan wujud gajah, dan menyimak semua yang disampaikan.
Orang yang menubruk bagian tubuh gajah yang kokoh ditanya tentang bentuk gajah. Ia menjawab, "Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan kokoh seperti tembok."
Orang yang tangannya meraba gading gajah berkata, "Engkau keliru, aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip tombak bulat, licin dan tajam."
Orang yang meraba belalai gajah berkata, "Kalian berdua keliru, aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah.
Gajah itu mirip ular menggeliat, mengerikan dan suka merusak."
Selanjutnya, orang yang memegang kaki gajah berkata, "Gajah itu kuat dan tegak, seperti batang.”
Orang yang memegang telinga gajah berkata, "Gajah seperti kipas, lebar dan kasar."
Terakhir, orang yang memegang ekor gajah berkata, "Sudah kukatakan, kalian semua salah! Gajah itu berayun-ayun seperti tali!"
Demikianlah keenam orang buta itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh dengan pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah. Mereka semua hanya meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak melihat keseluruhan hewan gajah itu sendiri, masyarakat pun ada yang percaya kepada yang satu dan tidak percaya kepada yang lain, ada juga yang tidak mempercayai kesemuanya dan ada sedikit yang bisa menyimpulkan keseluruhan pendapat para orang buta.
**** ****
Sahabatku,
Umat saat ini telah kehilangan gambaran yg utuh tentang Islam, mereka mengenali Islam dan memang diperkenalkan kepada Islam secara parsial saja oleh para pemandunya. Di satu sisi, ada yang memperkenalkan Islam hanya sebatas akhlak sehingga umat beranggapan bahwa Islam ya sebatas akhlak dan perbaikannya, di sisi yang lain ada yang memperkenalkan islam sebatas ibadah mahdlah sehingga umat beranggapan bahwa islam jauh dari pengurusan umat/politik dan merasa jijik ketika beraktivitas dengannya. Padahal, setiap hari, setiap jam bahkan setiap detik umat bersentuhan dengan aktivitas politik dan menjadi korban akibat kesalahan basis dan derivat politik (baca: basis ideologi kapitalisme, derivat: demokrasi, sekularisme, liberalisme).
Tentu kita tidak mengatakan bahwa perbaikan akhlak, peningkatan kualitas-kuantitas ibadah adalah hal yang keliru, wah wah, jelas bukan itu yang dimaksud, karena keduanya tentu akan berganjar pahala dari Allah swt. Jangan salah paham dulu ya. Fokus pembahasan kita disini adalah kaitan atau hubungan antara persepsi & aktivitas parsial yang dilakukan umat dengan dampaknya kepada kebangkitan yang sejati. Pertanyaannya cukup sederhana, apakah dengan perbaikan individu dan peningkatan frekuensi serta amplitudo ibadah secara otomatis akan menghantarkan kita kepada kebangkitan?
Apakah keberhasilan memperbaiki individu (akhlak-ibadah) akan serta merta menjadikan umat sebagai masyarakat yang islami? sementara aturan yang diterapkan di negeri-negeri mereka adalah aturan kufur? sementara keamanan di dalam negeri mereka didominasi oleh orang kufur, fasik dan gemar melakukan maksiyat?
Jelas tidak, seribu kali tidak! kenapa?
karena unsur pembentuk individu sudah berbeda dengan unsur pembentuk masyarakat. Pilar-pilar individu adalah akidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Baik-buruknya individu sangat bergantung pada baik-buruknya unsur atau pilar pembentuknya. Sementara pilar-pilar masyarakat adalah pemikiran, perasaan dan aturan yang sama. Baik-buruknya masyarakat bergantung pada baik-buruknya pemikiran, perasaan, dan aturan-aturannya. karena unsur pembentuk keduanya berbeda, tentu upaya untuk memperbaiki masyarakat berbeda dengan upaya memperbaiki individu.
hufh, Sayang sekali bukan, jika potensi dan gelora kebangkitan umat teredam hanya karena persepsi parsial telah terbangun dan terhujam begitu mendalam di benak mereka. Dan lebih parah lagi, kemunduran berpikir umat ini malah dijadikan sebagai legitimasi dan pendalilan sebagian kalangan aktifis dakwah (sebagian, hanya sebagian kok ;) yang menolak secara halus untuk mendukung perjuangan penegakkan sistem syariah dalam rezim khilafah dengan metode kenabian (Syariah-Khilafah ala minhaj nubuwwah, bukan ala minhaj dimuqratiyah wa rosimaliyah-demokrasi kapitalisme) dengan alasan umat belum siap untuk menerima kebangkitan melalui perjuangan secara revolusioner dan totaliter.
Tentu, kita tidak bisa berdiam diri dan berpangku tangan membiarkan umat dan generasi baru ini tumbuh dengan persepsi yang tidak utuh dan aktivitas yang parsial karena hal ini sangat fatal jika dibiarkan berlanjut. Kemunduran berpikir umat yang telah menjadi salah satu faktor keterpurukan disegala bidang hendaknya menjadi sebuah faktor penguat kita untuk terus 'berdjoeang' menggoreskan pena kemuliaan (izzah) Islam, demi cinta kita yang begitu mendalam kepada umat, demi kedalaman aqidah kita yang menuntut 'perdjoeangan' yang tak kenal henti, dan ingat, umat tidak serta merta menggantungkan secercah harapannya diatas ufuk timur; karena mereka percaya sepenuh hati bahwa masa depan mereka tergantung kepada kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas yang kita lakukan mulai saat ini.
Sahabatku,
di pundak kurus kita umat menggantungkan harapan,
di kepalan tangan kita umat mengharapkan masa depan.
di lisan kita umat mengharapkan pencerahan,
di hati kita umat merindukan kasih sayang,
di mata kita umat melihat sebuah kejayaan,
di atas keberanian kita umat berlindung, bergerak dan bangkit menuju lorong kebangkitan yang penuh dengan lautan pahala dan negeri syurga yang kekal abadi, penuh kenikmatan hakiki.
Sahabatku,
jika kita terlahir bukan untuk menjadi pemenang atas pertarungan ideologi demi meraih peradaban yang hakiki, lantas untuk alasan apa kita lahir ke bumi ini? Bukankah kita dilahirkan sebagai pemenang? Bukankah kita dilahirkan untuk berjuang meraih kemuliaan dan kegemilangan umat di atas panji Islam, diatas Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Sungguh jika suatu hari Khilafah tegak kembali, air mata kita pasti akan jatuh berlinang, hati kita akan riang tiada terperi karena perjalanan yang telah dititi. Perdjoeangan inilah yang akan menjadi kado amalan yang akan kita banggakan dihadapan Allah swt kelak, yaitu ketika di yaumil akhir nanti, Allah SWT brtanya kepada kita :
"Wahai fulan/fulanah, apa yang telah engkau lakukan di dunia sehingga Aku harus memasukanmu ke SyurgaKu?"
Tentu kita semua berharap bisa berucap dengan penuh rasa bangga, saat itu air mata kita jatuh berlinang penuh cinta, segala penderitaan yang kita alami di dunia lenyap seketika, karena balasan yang akan diberikan Allah swt kepada kita, sungguh jika saat itu tiba, kita memohon kepada Allah swt agar kita bisa berucap lirih :
" Duhai Allah.. telah ku jadikan hidupku sebagai pengabdian kepadaMu, telah kujadikan islam sebagai agama dan sistem hidupku, telah kujadikan Muhammad sebagai kekasihku dan suri teladanku, telah ku jadikan al-Qur'an petunjuk dan pedoman hidupku, dan telah ku jadikan hidupku sebagai perjuangan kepada umatMu, inilah persembahan terbaikku,terimalah perjuangan hambaMu, ya Rabb..""
Wallahu'alam bi ash-shawwab.
@Padepokan One Brother#
No comments:
Post a Comment