Oleh: Amin Hasan
Salah satu konsep dalam Islam yang begitu penting dan mulia adalah konsep wasathiyyah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Moderat. Konsep wasathiyyah ini mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus dimiliki oleh manhaj Islam yang di dalamnya mengandung nilai, ideologi, kriteria, dasar-dasar, serta simbol-simbol dalam pemikiran, pandangan hidup Islam (Islamic worldview), pelaksanaan dan penerapan dalam kehidupan seorang Muslim.
Masih dalam kitab Ma’rakatul Mushthalahat baina al-Gharbi wal Islami, Dr. Muhammad Imarah menjelaskan bahwa wasathiyyah (moderat) dalam konsep Islam adalah kebenaran di tengah dua kebatilan, keadilan di tengah dua kezaliman, tengah-tengah di antara dua ekstrimitas. Tegasnya, wasathiyyah tidak mengenal keberpihakan pada salah satu dari dua kutub, tidak berdiri pada salah satu di antara dua anak timbangan. Oleh sebab itu, saat kondisi tidak seimbang, maka wasathiyyah menjadi jalan tengah Islam yang komprehensif, seimbang, adil dan moderat.
Namun, konsep wasathiyyah ini mengalami distorsi dan disalahpahami oleh Muslim yang berpikiran liberal, atau yang lebih masyhur disebut Muslim Moderat. Mereka menganggap bahwa wasathiyyah (moderat) yang ada tidak mempunyai sikap yang jelas dan definitif dalam menyelesaikan problema yang begitu kompleks saat ini. Mereka pun tampil sebagai “Neo-Moderat” yang oleh Cheryl Bernard dikatakan sebagai kelompok yang paling bersahabat terhadap nilai-nilai dan jiwa masyarakat Barat. Bahkan, kelompok ini dianggap sebagai kelompok Muslim yang membantu Barat dalam memperjuangkan prinsip dan nilai-nilai HAM, demokrasi, kebebasan, anti kekerasan dan Pluralisme Agama.
Bagaimana Muslim yang berpikiran liberal ini menjadikan Barat sebagai standar “kemajuan” yaitu dengan menjadikan HAM sebagai kitab sucinya akan dijelaskan dalam tulisan singkat di bawah ini. Ini menjadi sangat penting untuk dibahas sebab bagi Muslim Moderat apapun yang datang dari Barat harus diterima oleh semua orang, kelompok, agama, negara, bahkan dunia sekalipun.
HAM dan Barat
Sejak setan mendeklarasikan dirinya sebagai musuh manusia, sejak saat itu pula perang antara yang hak dan yang batil dimulai. Perjuangan kebatilan sering mengatasnamakan agama, persamaan hak, keadilan, demokrasi, dan kemanusiaan (HAM). Bahkan, Hak Asasi Manusia yang diakui secara internasional oleh aktivis Islam Liberal dijadikan tolak ukur dalam melihat syariah Islam. Sehingga, bagi orang-orang Liberal, dalam banyak hal, Syariah Islam tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai dan budaya hari ini, terutama prinsip hak-hak asasi manusia (HAM) yang diusung Barat. Dengan demikian, lanjut mereka, saat ini sudah waktunya untuk menyesuaikan Syariah Islam dengan tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) dan bentuk-bentuk ketentuan publik lainnya.
Dari sinilah, Islam Liberal yang berkedok Muslim Moderat berubah profesi menjadi “tukang agama” yang kerap kali menukangi, bongkar-pasang, bermain dan bersilat dengan agama, dan bahkan merekayasa agama hatta pada wilayah yang qath’i dan ushul. Jadi, bagi mereka telah sampai pada Zaman Modif dan Periode Amandemen, karena yang dimodifikasi bukan hanya mobil dan motor, dan yang diamandemen bukan hanya UUD 45, tetapi juga Agama dan al-Qur’an.
Tanpa melakukan kajian yang mendalam terlebih dahulu, HAM diapresiasi begitu saja. Sebenarnya secara sederhana bisa dilihat bahwa deklarasi internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 tersebut hanya memperjuangkan hak-hak manusia. Tegasnya, bisa dipastikan bahwa yang diperjuangkan hanyalah hak, tidak ada tuntutan kewajiban. Padahal sangat jelas dalam Islam bahwa dalam diri seorang Muslim tidak hanya terdapat hak, tetapi juga terdapat kewajiban. Antara kewajiban dan hak ini berjalan secara seimbang dan berkesinambungan. Sehingga, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menjalankan kewajiban, baru kemudian menuntut haknya.
Ironisnya, walaupun sangat jelas kerancuan HAM, yaitu hanya menuntut hak, tanpa ada tuntutan menjalankan kewajibannya, namun, orang-orang Liberal mengkultuskan HAM, bahkan dijadikan pisau bedah dalam mendekonstruksi Syariah Islam.
Apa yang dilakukan oleh orang-orang Liberal tersebut sangatlah tidak terpuji. Sebab, demi HAM, orang-orang Liberal rela menukangi agama mereka sendiri, yaitu agama Islam. Inilah akibat dari sikap yang terlalu kagum dan terpesona secara berlebih-lebihan pada pencapaian Barat. Sehingga, dengan penuh ta’dzim menganggap bahwa Barat adalah sumber kemajuan disegala bidang, baik itu teknologi, sains, pendidikan, ekonomi, tatanan sosial dan politik, disiplin, keamanan/militer, industri hiburan dan simbol-simbol kebudayaan lainnya. Karena itu segala sesuatu yang berasal dari Barat harus diterima sebagai standar untuk menentukan kemajuan.
Oleh karena itu, Memahami Barat menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, dapat dilakukan dengan melihat Barat secara kritis dan obyektif, yaitu Barat adalah peradaban asing yang berbeda dari Islam dalam banyak hal. Tidak semua yang dari Barat itu baik, dan tidak pula semuanya buruk. Barat perlu dilihat secara cermat berdasarkan kajian yang serius dan dimulai dari akar-akarnya. Sehingga tidak melihat Barat secara berlebihan, tidak apresiatif secara gelap mata, dan tidak juga membenci secara membabi buta.
Mendekonstruksi Syariah
Perlu disadari bahwa syariah datang untuk membawa ketenangan. Syariah juga bersifat final serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Artinya, syariah bersifat universal. Oleh karena sifatnya yang universal, maka syariah bersifat abadi dan tidak mengalami perubahan, karena yang menghapus harus sama kuat dengan yang dihapus, atau lebih kuat darinya. Syariah yang merupakan ketentuan dari Allah tidak dapat dihapus kecuali dengan ketentuan syariah lain yang datang dari Allah.
Akan tetapi, berbeda halnya dengan pemahaman orang-orang Liberal terhadap syariah. Bagi mereka syariah itu tidak berifat final. Syariah selalu mengikuti dan disesuaikan dengan zamannya. Sehingga, orang-orang Liberal melihat bahwa syariah pada masa lalu tidak sesuai lagi apabila diterapkan pada hari ini. Sebab, dalam banyak hal, syariah bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan (HAM) yang diakui secara internasional.
Untuk itu, Syariah pun harus disesuaikan dengan hak-hak kemanusiaan (HAM) yang telah diakui secara universal. Ini tidak lain agar Islam dapat difahami sesuai dengan pemikiran Barat, khususnya doktrin humanisme. Caranya yaitu dengan mendekonstruksi syariah. Artinya, secara sadar mereka mengkhianati bahwa agama Islam adalah agama wahyu, yang sejak awalnya telah lengkap dan sempurna untuk memenuhi keperluan umat manusia tanpa batas ruang dan waktu.
Yang sangat disayangkan lagi adalah bahwa pengkhianatan itu dilakukan oleh orang Islam itu sendiri. Sebagai contoh, Fazlur Rahman, salah satu pemikir Muslim Modernis asal Pakistan, secara tegas menentang hukum syari’ah yang tegas seperti qishas dan jihad. Ketika Rahman berkunjung ke Indonesia dan diwawancarai Majalah Tempo, ia mengatakan, “Sangat mengerikan (potong tangan), ia merupakan tradisi yang lahir di Arab Saudi sebelum adanya Islam, jadi bukan hukum Islam.”
Hal serupa juga dilakukan oleh Abdullahi Ahmed An-Naim, seorang tokoh liberal asal Sudan. An-Naim tidak hanya menentang syariah diterapkan dalam sebuah negara, tetapi juga dia benar-benar menjajakan gaya hidup dan ideologi Barat-sekular ketika datang ke Indonesia pada 2007 lalu.
An-Naim, bahkan secara khusus didatangkan oleh penerbit Mizan dalam rangka bedah buku terjemahannya “Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariat Islam.” Ketika jamuan makan malam, An-Naim malah mengenakan celana pendek. Bahkan ujar Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis: “Teman saya, panitia acara itu, kecewa dengan sikap An-Na’im. Ketika jamuan makan malam di hotel tempat dia menginap, rupanya dia biasa minum bir. Teman saya itu betul-betul kaget dan kecewa”.
Jika dicermati, yang dipersoalkan oleh orang-orang Liberal seperti contoh kasus di atas adalah maslahah. Ketika yang dibidik hanya maslahah ala Barat-sekular, maka, syariah pun diabaikan. Karena syariah bagi mereka tidak sejalan dan bertentangan dengan doktrin dan prinsip-prinsip nilai Barat. Sehingga, yang ada hanya maqasid syariah, yaitu tujuan dari syariah itu sendiri. Karena bagi mereka tujuan ditetapkannya hukum Islam (syariah) adalah untuk menciptakan maslahah kepada umat manusia. Jadi, jika tanpa syariah sudah bisa mencapai maslahah (maqasid syariah), untuk apa menerapkan syariah. Dengan argumentasi ini, kaidah bahwa “dimana ada syariah, maka disitu ada maslahah”, kemudian dibalik menjadi “dimana ada maslahah, maka disitu ada syariah”.
Pemahaman seperti ini adalah tidak benar bahkan sangat keliru adanya. Karena tujuan ditetapkannya syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, mendatangkan manfaat, serta menghindarkan kerusakan dari mereka.
Seperti, mashahah melindungi jiwa yang karenanya disyariatkan hukum qishash, maslahah menjaga harta yang karenanya disyariatkan sanksi potong tangan atas pencuri, dan maslahah melindungi akal yang karenanya disyariatkan sanksi meminum khamer.
Tegasnya, diberlakukannya hukum syariah kesemuanya adalah untuk maslahah umat manusia. Buktinya, syariah tegak di atas prinsip “Jalbul Mashalih wa Dar’ul Mafasid” (Mendatangkan Maslahat dan Menolak Kerusakan). Sedangkan pencapaian maslahah yang diusung Barat-sekular yang kemudian dikampanyekan oleh orang-orang Liberal adalah semu. Karena, cocok bagi Barat, belum tentu cocok bagi Islam. Baik menurut Barat, belum tentu baik menurut konsep Islam.
Contoh lain tentang pengkhianatan syariah yang dilakukan oleh orang Muslim itu sendiri adalah penghalalan pernikahan sesama jenis. Seruan yang sangat mengejutkan ini dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo-Semarang. Hal ini bisa dicek langsung dalam Jurnal Justisia, edisi 25, th. XI 2004, terbitan Fakultas Syariah IAIN Walisongo-Semarang. Di situ dikatakan bahwa: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sesama jenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan”.
Bisa dilihat betapa menyimpangnya pemikiran Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang di atas. Apalagi tragedi ini berlangsung di perguruan tinggi Islam dan dilakukan oleh mahasiswa Syariah. Mahasiswa yang diharapkan mampu menegakkan Syariah Islam, malah sebaliknya, justru merekalah yang menghancurkan Syariah Islam. Sungguh perbuatan dan sangat tidak terpuji dan sangat menghina Islam.
Penghalalan pernikahan sesama jenis sangatlah dilarang dalam Islam. Secara tegas syariah Islam mengharamkan pernikahan sesama jenis. (baca Tafsir Kisah Luth dan Konsep Pernikahan) Ironisnya, walaupun telah jelas dan qath’i Syariah Islam atas pengharaman pernikahan sesama jenis, namun orang-orang liberal tetap mengkhianatinya. Ini mereka lakukan tidak lain karena targetnya adalah membawa hukum Islam agar sejalan dengan doktrin, prinsip, dan nilai-nilai HAM Barat yang melulu berdasarkan prinsip Humanisme.
Demikianlah, bahwa tantangan yang berat di sini sebenarnya bukanlah datang dari luar Islam, tetapi justru datang dari dalam tubuh Islam itu sendiri. Banyak di antara umat Muslim yang menuntut ilmu ke-Islaman ke Barat, atau mengaji al-Qur’an kepada orang-orang junub. Hasilnya saat ini telah nampak, kita semua menuai buahnya. Ini merupakan bahaya laten bagi Islam, karena mungkin mereka yang tidak senang dengan kemajuan Islam “berkedok” mereka juga sedang memajukan Islam dengan dalih pembaharuan Islam. Tetapi karena sudah sedari awal salah dalam memahami Islam, maka maksud hati ingin ikut mengembangkan Islam, malah sebaliknya. Mereka menyeret ajaran-ajaran Islam melenceng dari khittah yang dipancarkan oleh al-Qur’an yang kemudian disempurnakan pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw yang Baginda tafsirkan dalam kehidupannya, dan hukum sakral yang Beliau bentuk dalam ajaran, pemikiran, perkataan, dan contoh perbuatan (sunah).
Penutup
Mungkin, apa yang dilakukan oleh orang-orang Leberal atau “Muslim Moderat” niat awalnya baik, yaitu ingin memajukan Islam. Namun karena kegagalan dan kelemahan dalam kefahaman dan ilmu yang mendalam, baik mengenai kebudayaan dan peradaban Islam maupun Barat, sehingga mereka kebablasan dalam usaha untuk meningkatkan pemikiran umat Islam ke taraf pencapaian-pencapaian modern dalam bidang ilmu dan ternologi serta ilmu kemanusiaan dan realitas. Karena, apabila tidak hilang identitasnya sebagai seorang Muslim, maka KONFLIK YANG TIDAK PENTING dikalangan umat Islam seharusnya tidak perlu terjadi.
Memang terlihat aneh, Muslim di negeri ini tampak begitu kompak-toleran pada kemaksiatan. Ketika yang liberal menegaskan “tidak ada hukum Tuhan”, yang sekuler akur “tidak ada yang haram di negeri ini”. Para artis pun tambah yakin “buka-bukaan boleh asal profesional”. Malam hari menghadiri pengajian lengkap dengan pakaian yang benar-benar Islami, namun, di pagi harinya, tampil di depan publik dengan pakaian yang semua orang bisa melihat keindahan lekuk tubuhnya, “You Can See.” Artinya anda boleh berbuat dosa asal professional dan dibayar tinggi. Anda boleh selingkuh bahkan berzina asal tidak menyakiti orang lain. Apa yang terjadi benar-benar telah mem-Barat.
Wallahu’alam bi Shawab.
Penulis adalah Mahasiswa pada Program Pasca Sarjana di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Akidah
@Padepokan One Brother#
No comments:
Post a Comment